Makalah: Dasar-dasar Aksiologi Ilmu Pengetahuan
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
BAB I
1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Asas-asas filsafat merupakan suatu kajian yang mengetengahkan prinsip-prinsip pokok bidang filsafat.Dalam hal ini dikaji beberapa bidang utama filsafat seperti: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga bidang ini dapat dipandang sebagai pilar utama suatu bangunan filsafat manakala kita ingin memahami fisi filsafat seseorang atau suatu aliran. Sontag menegaskan bahwa vitalitas dan sensitivitas filsafat itu berasal dari refleksi diri yang bersifat tetap dan terus-menerus (konstan). Filsafat itu semata-mata berisikan penolakan pada sesuatu yang pasti dalam berbagai lingkup teoritik atau prosedur dasariah yang bukan merupakan bagian konsepsi teoritik itu sendiri. Secara historis teori-teori filsafati yang efektif akan menghadirkan suatu konsepsi baru dan terang mengenai apa dan bagaimana cara kerja filsafat itu.Oleh karena itu kesalahn utama terletak pada penghadiran filsafat sebagai persoalan diri yang dapat dieliminir dan seolah persoalan-persoalannya dapat dipecahkan secara tuntas. Filsafat justru menghadirkan problem-problem abadi (perennial problems), yang menuntut pemecahan secara terus-menerus dan tidak pernah mengenal titik henti. Disini acak kali terjadi kesalhpahaman terhadap filsafat , yang dipandang menciptakan teka-teki yang tidak mempunya jawaban apa-apa. Tudingan semacam itu dilontarkan oleh para filsuf analitik abad keduapuluh, G.E.Moore, yang lebih mengandalkan common sense dalam memecahkan persoalan-persoalan, hal ini dianalisis Moore dalam artikelnya “Proof of an External World”.
Aktivitas filsafat melibatkan akal pikir manusia secara utuh, konsisten dan bertanggungjawab. Dalam aktivitas akal itu para filsuf mencoba mengungkap tentang realitas. Kegiatan mengungkap realitas ini membutuhkan bahasa sebagai sarana bagi pemahaman terhadap realitas tersebut. Dari sini muncullah berbagai istilah teknis filsafati yang mengandung makna khas, seperti: substansi, eksistensi, impresi, kategori. Istilah-istilah teknis filsafat ini muncul dalam bidang-bidang utama filsafat, yakni; ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dalam makalah ini kami akan membahas secara singkat tentang salah satu bidang utama filsafat ini yakni aksiologi ilmu pengetahuan yang selanjutnya lebih dikenal sebagai dampak ilmu bagi umat manusia, baik itu dari persoalan apa manfaat ilmu itu sendiri, serta untuk apa ilmu itu digunakan. Akan tetapi pembahasan kami ini lebih mengarah kepada etika.
B. RUMUSAN MASALAH
2
Apa pengertian aksiologi?
Apa saja problem utama aksiologi?
Apa pengertian etika dan bagaiman pembagiannya?
BAB II
PEMBAHASAN
AksiologiIlmu Pengetahuan
Pengertian Aksiologi
Istilah axiologi berasal dari kata axio dan logos. Axio artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori tentang nilai. Aksiologi merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi merupakan kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Jadi, Aksiologi yaitu bagian dari fisafat yang enaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (eans and objective). Dalam pemikiran filsafat Yunani, studi mengenai nilai ini mengedepan dalam pemikiran Plato mengenai idea tentang Kebaikan, atau yang lebih dikenal dengan Summum Bonum (Kebaikan tertinggi).
Tokoh zaman pertengahan, Thomas Aquinas, membangun pemikiran tentang nilai dengan mengedentifikasi filsafat Aristoteles tentang nilai tertinggi dengan penyebab final (causa prima) dalam diri Tuhan sebagai keberadaan kehidupan, keabadian, dan kebaikan tertinggi. Pemikiran zaman modern, Spinoza, memandang nilai sebagai didasarkan pada metafisik, berbagai nilai diselidiki secara terpisah dari ilmu pengetahuan. Tokoh Aufklarung, Kant, memperlihatkan hubungan antara pengetahuan dengan moral, estetik, dan religius. Dalam pandangan Hegel, moralitas, seni, agama, dan filsafat dibentuk atas dasar proses dialektik.
2. Problem Utama Aksiologi
3
Problem utama aksiologi ujar Runes1 berkaitan dengan empat faktor penting sebagai berikut :
Pertama, kodrat nilai berupa problem mengenai : apakah nilai itu berasal dari keinginan (voluntarisme:Spinoza), kesenangan (Hedonisme:Epicurus, Bentham, Meinong), kepentingan (Perry), preferensi (Marteneau), keinginan rasio murni (Kant), pemahaman mengenai kualitas tersier (santayana), pengalaman sinoptik kesatuan kepribadian (personalisme:Green), berbagai pengalaman yang mendorong semangat hidup (Nietzsche), relasi benda-benda sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau konsekuensi yang sungguh-sungguh dapat dijangkau (Pragmatisme:Dewey).
Kedua, jenis-jenis nilai menyangkut perbedaan pandangan antara nilai intrinsik, ukuran untuk kebijaksanaan nilai itu sendiri, nilai instrumental menjadi penyebab (baik barang-barang ekonomis atau peristiwa-peristiwa alamiah) mengenai nilai-nilai intrinsik.
Ketiga, kriteria nilai artinya ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi oleh teori psikologi dan logika. Penganut hedonist menemukan bahwa ukuran nilai terletak pada sejumlah kenikmatan yang dilakukan oleh seseorang (Aristippus) atau masyarakat (Bentham). Penganut intuisionist menonjolkan suatu wawasan yang paling akhir dalam keutamaan. Beberapa penganut idealist mengakui sistem objektif norma-norma rasional atau norma-norma ideal sebagai kriteria (Plato). Seseorang penganut naturalist menemukan keunggulan biologis sebagai ukuran yang standar.
Keempat, status metafisik nilai mempersoalkan tentang bagaimana hubungan antara nilai terhadap fakta-fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu kealaman (Koehler), kenyataan terhadap keharusan (Lotze) pengalaman manusia tentang nilai pada realitas kebebasan manusia (Hegel).
Ada tiga jawaban penting yang diajukan dalam persoalan status metafisika nilai ini yaitu:
Subjektivisme menganggap bahwa nilai merupakan sesuatu yang terikat pada pengalaman manusia, seperti halnya : hedonisme, naturalisme, positivisme.
Objektivisme logis menganggap bahwa nilai merupakan hakikat atau subsistensi logis yang bebas dari keberadaannya yang diketahui, tanpa status eksistensial atau tindakan dalam realitas.
4
Objektivisme metafisik menganggap bahwa nilai atau norma adalah integral, objektif dan unsur-unsur aktif keadaan metafisik, seperti yang dianut oleh: Theisme, absolutisme, realisme.
3. Etika
Salah satu cabang aksiologi yang banyak membahas masalah nilai-baik atau buruk-adalah bidang etika. Etika mengandung tiga pengertian:
Kata etika bisa berarti dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral Misalnya kode etik.
Etika merupakan ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat seringkali tanpa disadarimenjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika dalam hal ini sama
dengan filsafat moral2.
Secara etimologi, etika berasal dari kata Yunani ethos = watak. Sedang moral berasal dari kata latin mos, bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamak mores = kebiasaan. Istilah etika atau moral dalam bahasa Indonesia dapat siartikan kesusilaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang dilakukan secara sadar dan bebas. Objek formal etika adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dari tingkah laku tersebut. Dengan demikian perbuatan yang dilakukan secara tidak sadar dan tidak bebas tidak dapat dikenai penilaian bermoral atau tidak bermoral.
Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tingkah laku moral dapat dihampiri berdasarkan atas tiga macam pendekatan, yaitu: Etika Deskriptif, Etika Normatif, dan Metaetika.
Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas seperti: adat kebiasaan, anggapan tentang baik atau buruk, tindakan yang diperbolehkan atau tidak. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu, kebudayaan atau sub-kultur tertentu. Oleh karena itu etika deskriptif ini tidak memberikan penilaian apapun, ia hanya memaparkan. Etika deskriptif lebih bersifat netral. Misalnya: menggambarkan tentang adat mengayau kepala pada suku primitif.
5
Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat mempersoalkan norma yang diterima seseorang atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah norma itu benar atau tidak. Etika normatif berarti sistem-sistem yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik atau buruk3. Etika normatif ini dibagi menjadi dua, yaitu:
Etika umum, yang menekankan pada tema-tema umum seperti: apa yang dimaksud norma etis? Mengapa norma mengikat kita? Bagaimana hubungan antara tanggung jawab dengan kebebasan?
Etika khusus, upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip etika umum kedalam perilaku manusia yang khusus. Etika khusus juga dinamakan etika terapan.
Bagian lain etika adalah metaetika, yaitu kajian etika yang ditujukan kepada ungkapan-ungkapan etis. Bahasa etis atau bahasa yang dipergunakan dalam bidang moral dikaji secara logis. Metaetika menganalisis logika perbuatan dalam kaitan dengan “baik” atau “buruk”. Lorens Bagus4 memerinci bebrapa pandangan filsuf mengenai teori etika antara lain:
Socrates beranggapan bahwa menderita selalu lebih baik daripada berbuat jahat. Ia mengajukan suatu pandanganyang tidak melihat pada akibat-akibat, melainkan pada prinsip batin.
Plato memandang yang baik sebagai suatu forma eternal yang harus direalisir dalam kehidupan manusia.
Aristoteles, tujuan hidup manusia ialah kebahagiaan atau eudaimonia (kesejahteraan, kesentosaan).
Immanuel Kant membangun teori etikanya berdasarkan prinsip yang muncul dari ide hukum dan menuju imperatif kategoris dan praktif.
Bentham memandang bahwa tujuan yang harus dicapai adalah kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar. Hedonisme merupakan cara untuk memahami yang baik.
Nietzsche beranggapan bahwa tujua kehidupan adalah kehendak untuk berkuasa.
Etika tidak hanya berkutat pada hal-hal teoritis, namun juga terkait erat dengan kehidupan konkret, oleh karena itu ada beberapa manfaat etika yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan kehidupan konkret, yaitu:
6
Perkembangan hidup masyarakat yang semakin pluralistik menghadapkan manusia pada sekian banyak pandangan moral yang bermacam-macam, sehingga diperlukan refleksi kritis dari bidang etika. Contoh: Etika Medis tentang masalah abortus, bayi tabung, Kloning, dan lain-lain
Gelombang modernisasi yang melanda disegala bidang kehidupan masyarakat, sehingga cara berfikir masyarakat pun ikut berubah. Misalnya: cara berpakaian, kebutuhan fasilitas hidup modern, dan lain-lain.
Etika juga menjadikan kita sanggup menghadapi ideologi-ideologi asing yang berebutanmempengaruhi kehidupan kita, agar tidak mudah terpancing. Artinya kita tidak boleh tergesa-gesa memeluk pandangan baru yang belum jelas, namun tidak pula tergesa-gesa menolak pandangan baru lantaran belum terbiasa.
Etika diperlukan oleh penganut agama manapun untuk menemukan dasar kemantapan dalam iman dan kepercayaan sekaligus memperluas wawasan terhadap semua dimensi kehidupan masyarakat yang selalu berubah.
Dengan demikian aksiologi merupakan landasan ilmu yang berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia, agar sehingga manusia menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap kedalam sikap arogansi intelektual. Pengembangan landasan ilmu pengetahuan ini akan melahirkan sifat kebijaksanan ilmuwan dalam menerapkan ilmunya di masyarakat. Hal yang lebih diperlukan juga adalah sikap keterbukaan diri, khususnya dikalangan ilmuwan, sehingga mereka dapat saling menyapa dan mengarahkan seluruh potensi keilmuwan yang dimilikinya untuk kepentingan umat manusia.
Catatan Kaki:
1Runes, 1979, Dictionary of Philosophy, h. 32-33.
7
2Bertens, 1993, Etika, h.6
3Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, h. 217
4Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, h. 217
DAFTAR PUSTAKA
Mustansyir Rizal, Munir Misnal, 2015, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
0 Response to "Makalah: Dasar-dasar Aksiologi Ilmu Pengetahuan "
Post a Comment